Rabu, 21 Oktober 2009

Horas... BaH...

Suku Batak terdiri dari beberapa sub-suku yang berdiam di wilayah Sumatera Utara yakni sebagian besar di Tapanuli, Simalungun, Karo, serta Nias dan Fakfak-Dairi -- kedua wilayah terakhir ini termasuk wilayah Tapanuli. Sub-suku Batak terdiri dari Toba yang bermukim di wilayah Toba yakni Toba, Silindung, Samosir, dan Humbang; Angkola yang bermukim di wilayah Tapanuli Selatan, Sipirok dan Angkola; Mandailing yang bermukim di Mandailing Natal; Simalungun di daerah Simalungun; Karo di daerah Karo; Fakfak Dairi bermukim di daerah Fakfak dan Dairi. Bahkan dalam pelajaran antropologi yang diajarkan di sekolah-sekolah bahwa Nias, Alas dan Gayo dikelompokkan dalam sub Suku Batak. Dalam dua dasawarsa terakhir ini terbentuk pula sub-suku Batak lainnya, yakni Batak Pesisir. Ir. Akbar Tanjung, mantan Ketua DPR-RI, pertama kali menjadi ketua Persatuan Batak Pesisir ini. Sub-suku Batak Peisisir ini bermukim (tersebar) di daerah-daerah pesisir pantai Timur Sumatera yakni Asahan, Labuhan Batu dan Rantau Prapat, juga pantai Barat Sumatera yakni Sibolga dan Barus di Tapanuli Tengah.

Pengelompokan sub suku Batak dilakukan berdasarkan wilayah pemukimannya, darpada karena garis keturunan.

Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan wilayah pemukiman (teritorial).

Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua sub suku Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan wilayah pemukiman (teritorial) terlihat dari terbentuknya, tersepakatinya suatu tradisi adat-istiadat di setiap wilayah. Bagi orang Batak yang bermukim di wilayah Mandailing, misalnya, terbentuk suatu tradisi adat-istiadatyang memiliki corak tersendiri dibandingkan dengan adat-istiadat suku Batak yang bermukim di Toba, walaupun marga-marga yang bermukim di Mandailing dan Toba banyak yang sama, seperti marga Siregar, Lubis, Hasibuan dan Batubara.

Untuk menggambarkan betapa kedua bentuk kekerabatan ini memiliki daya rekat yang sama, ada perumpamaan dalam bahasa Batak Toba berbunyi demikian: Jonok dongan pertubu jonokan do dengan parhundul. Artinya, semua orang mengakui bahwa hubungan garis keturunan adalah sudah pasti dekat, tetapi dalam sistem kekerabatan Batak lebih dekat lagi hubungan karena bermukim di satu wilayah.

Jadi pembagian sub-suku Batak lebih ditentukan oleh wilayah pemukiman atau Bius daripada garis keturunan silsilah.


Rumah Adat Batak Toba

Falsafah dan Sistem Kemasyarakatan

Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatan (kekerabatan)nya yakni Tungku nan Tiga atau dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu, yakni Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru ditambah Sihal-sihal.

Hulahula adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak). Sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).

Dongan Tubu disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya terkadang saling gesek. Namun pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.

Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun burfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.

Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifak kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.

Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raji no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.


Kepercayaan

Orang Batak telah menganut agama Kristen Protestan yang disiarkan oleh misionaris Jerman, Nomensen pada tahun 1863. Gereja yang pertama berdiri adalah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di huta Dame, Tarutung. Saat ini gereja HKBP telah tersebar di seluruh Indonesia. Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.

Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:

  • Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
  • Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
  • Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.

Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka. Ada juga kepercayaan yang ada di Tarutung tentang ular (ulok) dengan boru Hutabarat bahwa boru Hutabarat tidak boleh dikatakan cantik di Tarutung. Apabila dikatakan cantik maka nyawa wanita tersebut tidak akan lama lagi, menurut kepercayaan orang itu.

Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak khusunya kaum laki-laki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.

Falsafah

Secara umum, suku Batak memiliki falsafah adat Dalihan Natolu yakni Somba Marhulahula (hormat pada pihak keluarga ibu/istri), Elek Marboru (ramah pada keluarga saudara perempuan) dan Manat Mardongan Tubu (kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Batak.

Sejarah

Sejarah Batak modern dipengaruhi oleh dua agama Samawi yakni Islam dan Kristen. Islam makin kuat pengaruhnya pada saat Perang Padri, melalui aktivitas dakwah yang dilakukan para da'i dari Minangkabau. Perluasan dan penyebaran agama Islam hingga memasuki daerah Tapanuli Utara dibawah pimpinan Tuanku Rao, namun tidak berhasil. Islam hanya berkembang di kalangan Mandailing dan sebagian Angkola.

Agama Kristen baru berpengaruh di kalangan Angkola dan Batak setelah beberapa kali misi Kristen yang dikirimkan mengalami kegagalan. Misionaris yang paling berhasil adalah I.L. Nommensen yang melanjutkan tugas pendahulunya menyebarkan agama Kristen di wilayah Tapanuli. Ketika itu, masyarakat Batak yang berada di sekitar Tapanuli, khususnya Tarutung, diberi pengajaran baca tulis, keahlian bertukang untuk kaum pria dan keahlian menjahit serta urusan rumah tangga bagi kaum ibu. Pelatihan dan pengajaran ini kemudian berkembang hingga akhirnya berdiri sekolah dasar dan sekolah keahlian di beberapa wilayah di Tapanuli. Nommensen dan penyebar agama lainnya juga berperan besar dalam pembangunan dua rumah sakit yang ada saat ini, RS Umum Tarutung dan RS HKBP Balige, yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.

Sementara itu, perkembangan pendidikan formal juga terus berlanjut hingga dibukanya sebuah perguruan tinggi bernama Universitas HKBP I.L. Nommensen (UHN) tahun 1954. Universitas ini menjadi universitas swasta pertama yang ada di Sumatra Utara dan awalnya hanya terdiri dari Fakultas Ekonomi dan Fakultas Theologia.

Kontroversi

Belakangan sebagian orang Simalungun, Karo dan Nias tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari (sub-suku) Batak. Sementara Suku Alas, Suku Gayo, dan Suku Kluet dalam pergaulan sehari-hari sejak Indonesia merdeka tidak menyebut diri sebagai bagian dari suku Batak.

Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Tapanuli, Karo, Toba, Mandailing dan Angkola sebagai etnis Batak.


Aksara Batak klik disini http://www.hawaii.edu/indolang/surat/ atau Full info kunjungi http://pdfdatabase.com/index.php?q=sejarah+suku+batak

Rabu, 07 Oktober 2009

Asal MuasaL SimarmaTa

Seperti marga batak lainnya, silsilah (tarombo) Simarmata juga dimulai dari Sirajabatak yang merupakan nenek moyang dari seluruh bangsa batak.
Sirajabatak mempunyai dua orang anak yaitu Guru Tatea Bulan dan Raja Isombaon(Ompu Tuan Nabolon). Simarmata merupakan keturunan dari Raja Isombaon. Sampai sekarang, keturunan Raja Isombaon dinamai sebagai keturunan (pomparan ni) Nai Ambaton yaitu menurut nama ibunya.
Raja Isombaon mempunyai 4 orang anak yaitu: Simbolon Tua, Saragi Tua, Tamba Tua, Munte Tua. Dari keempat marga induk inilah lahir berpuluh-puluh marga batak. Marga Simarmata sendiri merupakan keturunan dari Saragi Tua yang mempunyai 2 orang putera yaitu Ompu Tuan Binur dan Ompu Partumpuan (Ompu Saragi).
Ompu Tuan Binur yang merupakan ayah Simataraja, kawin dengan Bunga Ria boru Manurung, puteri Raja Manurung yang tinggal di Sihotang. Ompu Tuan Binur kemudian mendirikan kampung yang bernama Huta Namora di Rianiate, dekat Pangururan.
Ompu Tuan Binur kemudian dikaruniai 4 orang putera yaitu Lango Raja, Saing Raja, Mata Raja dan Deak Raja dan dua putri. Kedua puterinya kawin dengan Sihotang Marsoit dan Limbong Naopatpulu.
Putera ketiga dari Ompu Tuan Binur yaitu Simataraja, kemudian kawin dengan puteri Raja Saudakkal dari Limbong Mulana, bernama Lahatma boru Limbong Sihole, dan selanjutnya mereka tinggal di suatu daerah yang kemudian dinamai Simarmata. Dari perkawinannya, Simataraja mempunyai tiga orang putera yaitu: Halihi Raja yang kawin dengan Naolo boru Sihaloho dari Janji Maria Parbaba, Dosi Raja yang kawin dengan Bungahom boru Malau dari Rianiate, dan Datuktuk Raja yang kawin dengan Tiarma boru Sinaga Uruk dari Batu Upar, Urat.
Kepada ketiga puteranya Simataraja kemudian membagikan tanah Simarmata. Halihi Raja memperoleh Huta Uruk, Dosi Raja memperoleh Huta Toguan (Toruan), dan yang bungsu Datuktuk Raja memperoleh Huta Balian. Diduga ketiga putra Simataraja ini hidup sekitar tahun 1550.
Ketiga putera Ompu Simataraja inilah yang menurunkan marga Simarmata dan menyebar keberbagai penjuru, terutama ke daerah pantai Sumatera ditepian pantai Danau Toba, baik kearah Timur, Tenggara maupun Barat, diantaranya ke Simalungun, Karo, Dairi, Humbang, Sibolga, Pematang Siantar, Binjai dan kota-kota lainnya di Sumatera, Jawa, bahkan ke seluruh Indonesia dan Dunia. Untuk lebih detail lihat TAROMBO SIMARMATA.

Simarmata menjadi Saragih dan Ginting

Bila diperhatikan sepintas, bahwa raja-raja penguasa tanah Simalungun hanya terdiri dari empat marga yaitu Saragih, Damanik, Purba dan Sinaga. Saragih merupakan keturunan Raja Isombaon dari puteranya Saragi Tua.
Keturunan Simataraja marga Simarmata yang datang belakangan ke Simalungun, kemudian mengikuti marga dongan tubunya Saragi yang di Simalungun menjadi Saragih. Belakangan setelah kekuasaan raja-raja berkurang, marga Simarmata yang tadinya menggunakan marga Saragih kembali memakai marga Simarmata. Namun mereka umumnya kesulitan untuk mengetahui siapa diantara ketiga Ompu anak Simataraja, yang menjadi leluhurnya. Kebanyakan dari mereka menempati pesisir pantai di hadapan Pulau Samosir, seperti Tigaras, Haranggaol, Silalahi dan desa-desa disepanjang pantai tersebut. Konon kabarnya perpindahan generasi ini sudah berlangsung antara tujuh sampai sepuluh generasi.
Selain ke Simalungun, marga Simarmata juga sampai ke tanah Karo. Seorang penulis di Harian Sinar Indonesia Baru, pernah menulis bahwa Simarmata datang ke tanah Karo melalui Dairi. Di tanah Karo mereka menggunakan nama Garatama (merah mata). Kampung yang mula-mula mereka tempati adalah kampung Lau Lingga(sekarang Kecamatan Juhar). Di sini, Garatama mengganti namanya menjadi Matangken dan marganya Ginting.